Langsung ke konten utama

Letting You Go


Aku berdiri, kulongok lampu indikator di atas pintu. Hanya warna merah yang terlihat. Lorong sepanjang hampir lima puluh meter di depanku terasa lorong neraka.

Walau sudah kubaca berulang kali, tetap saja mataku reflek menangkap tulisan ber-font besar berwarna merah. RUANG OPERASI.

Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku. Sudah tiga jam lebih aku berdiri, duduk, mondar mandir, berdiri lagi, duduk lagi, mondar mandir lagi.

Laki-laki yang telah menjadi imamku lebih dari sepuluh tahun sedang bertarung dengan pisau bedah dan dokter di dalam sana. Telah banyak doa dan permohonan kupanjatkan.
Sebuah tepukan menyadarkanku dari lamunan.

"Keluarga Bapak Wirawan?" suara suster lembut.

"Iya, Sus," jawabku.

"Ibu ditunggu di ruang dokter Adi. Ada hal yang akan disampaikan. Pasien masih dalam persiapan untuk dipindahkan ke ruang rawat inap. Jadi belum bisa dijenguk ya, Bu." Suster tersenyum.

"Iya, Terima kasih." Aku balas tersenyum.

Suster melangkah menjauh. Kutatap lantai di bawahku. Entah berapa kali dalam sehari para petugas cleaning service membersihkannya. Aku bisa melihat pantulan wajahku di sana.

Kupejamkan mata, kutarik napas panjang, dan bersiap melangkah. Sudah puluhan kali aku bertemu dokter paruh baya itu. Dokter dengan kulit bersih, tangan cekatan, dan berkaca mata.

Namun, tetap saja aku merasa takut. Takut mendengar setiap kata yang keluar dari bibirnya. Takut bila ditodong harus tanda tangan atas sebuah tindakan medis untuk suamiku.

"Ya, silahkan masuk." Terdengar suara bariton dati dalam ruang setelah kuketuk pintu.

Aku menekan handle pintu. Setelah pintu terbuka kulangkahkan kaki masuk ke ruangan bersuhu dingin.

"Sore Dok," sapaku berbasa basi.

"Silahkan duduk Bu." Dokter Adi menghentikan tarian jemarinya di atas keyboard

"Mohon maaf sekali saya harus menyampaikan ini." Hening. Dokter Adi menghela napas.

"Ada komplikasi dari operasi sebelumnya. Kaki Bapak menolak terapi yang dijalankan. Dan terdapat kerusakan pada tulang. Ini yang menyebabkan kaki Bapak tidak bisa kering sempurna," lanjutnya.

"Apa kemungkinan terburuknya, Dok?" Aku memberanikan diri mendengar hasil analisa.

"Komplikasi akan menyebar. Kita harus berdoa dan semoga Tuhan memberi keajaiban." Dokter Adi melepas kacamata dan meletakkannya di meja.

"Ini hanya analisa manusia, Bu. Tapi kita tidak pernah tahu apa rencana Tuhan, kan, Bu." Suaranya sangat menenangkan.

Aku menguatkan diri. Kutahan sekuat tenaga agar bendungan mataku tidak jebol. Aku melangkah menuju ruang dimana suamiku dirawat.

Suamiku masih dalam pengaruh obat bius. Seakan dia hanya tengah tertidur lelap setelah seharian berjihad mencari nafkah. Wajahnya terlihat teduh. Bibirnya seolah menyunggingkan senyum terbaik. Kuusap wajah yang selalu melengkapi hari-hariku. Kugenggam tangannya.

"Pak, ibu ikhlas. Ibu ingin yang terbaik untuk Bapak, apapun itu." Air mataku mengalir. Perih. Namun aku lega.

Suara alarm gadged membangunkanku. Jam dinding menunjuk pukul tiga lebih dua puluh menit. Kulihat suamiku masih terlelap. Aku bersiap mengambil air untuk bersuci.

Kulipat sajadah. Semua terlihat biasa kecuali suamiku. Posisi tangan dan kepalanya tidak berubah sejak terakhir aku melihatnya. Hanya senyuman itu terlihat semakin kentara.

Kupegang tangannya. Dingin. Kupencet saklar di atas tempat tidur.

"Ada yang bisa saya bantu bu?" Suara suster jaga terdengar di seberang sana.

"Sus, suami saya, ta... tangannya dingin," jawabku terbata.

"Kami segera periksa bu." Suster merespon.
Aku terpaku. Bergeming. Tuhan, aku ikhlas, aku tahu Engkau maha Tahu yang terbaik untuk hambamu.

Aku memejamkan mata dan bersiap mengabari anak-anak.


Tulisan ini diikutsertakan dalam challenge one day one post bersama estrilook.community

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku: Diorama Sepasang ALBANNA

Judul: Diorama Sepasang Albana Pengarang: Ari Nur (Pemenang Sayembara Menulis Novel Islami Mizan) Penerbit: PT Mizan Pustaka Tahun: Cetakan II Mei 2008 Tebal: 216 halaman ISBN: 9789791738514 Genre: Novel Roman Diorama Sepasang Albana adalah kisah pencarian cinta sejati sepasang muda mudi yang menggeluti dunia arsitek. Cerita cinta antara Ryan dan Rani. Keduanya dipertemukan dalam sebuah biro arsitek ternama Ibukota. Walau bekerja sama dalam sebuah biro konsultasi, mereka tak pernah akur. Ryan adalah sosok pria milenial mapan yang perfeksionis. Sedangkan Rani adalah arsitek muda yang agamis dan idealis. Latar belakang, pola pikir, dan kepribadian yang bertolak belakang, semakin memperuncing permusuhan mereka berdua. Namun ternyata mereka punya satu kesaman. Keduanya mengidolakan tokoh arsitek Islam, Imam Hasal Al-Banna. Ryan mulai galau saat merasa tidak lagi mampu hidup sendiri. Walau termasuk golongan eksekutif muda mapan yang banyak digandrungi perempuan, R

Si Kecil Picky Eater? Coba 3 Cara Ini, Yuk!

Si kecil hanya mau melahap, makanan tertentu saja? Kemungkinan si kecil adalah picky eater , alias pilih-pilih makanan. Emak pasti khawatir ya. Takut kesehatannya terganggu, takut asupan gizinya kurang, dan takut perkembangannya terhambat. Saat menginjak usia 1 tahun, si kecil boleh mengonsumsi apa saja yang ada di meja makan. Namun, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran baru. Kurangnya variasi MPAsi yang diberikan, bisa membuat anak hanya menyukai makanan tertentu saja. Pengalaman saya, MPAsi si sulung maksimal karena hampir semua sayur dan buah dikenalkan. Sedangkan pada si bungsu, hanya terbatas yang ada di tukang sayur saja. Kondisi ini ternyata berdampak pada pola makan mereka. Si sulung menyukai hampir semua sayur dan buah. Tak perlu drama saat makan, apapun yang disajikan emaknya, dia lahap. Namun, berbeda dengan bungsu. Dia hanya mau makan sayur tertentu saja. Makanan favoritnya ya, mi, telur dadar, dan kecap. Aduh, mana cukup vitaminnya 😥. Setelah lepas ASI, B

Ide Mentok saat Bikin Masakan untuk Keluarga Tercinta? Cobain Yuk, 5 Resep Olahan Telur Ini!

sumber sriwijaya post.tribun Besok masak apa Mak? Ini adalah pertanyaan horor buat saya, 😂, karena sering bingung mau menyajikan apa di meja makan. Sebenarnya bisa saja asal masak, sop, sayur bening, tumisan, atau sekadar goreng lauk berprotein hewani plus sambal. Namun, yang jadi masalah adalah tidak semua anggota keluarga  welcome  dengan menu tersebut, betul nggak, Mak?  Sebelkan, ya, bila sudah susah masak, eh, nggak ada yang nyentuh. Itu makanan awet di meja makan kayak diberi formalin 😜. Kalau masak kesukaan keluarga, bosen juga, masa’ iya, tiap hari menunya itu-itu saja. Nggak berubah. Selain bosen, asupan yang masuk ke dalam tubuh jadi kurang seimbang dan tidak bervariasi. Ujung-ujungnya perkembangan buah hati dan kesehatan jadi terganggu. Bila sudah begini, (jurus andalan sayah) telur menjadi alternatif. Hampir semua suka sama benda bulat yang berasal dari pantat ayam ini, eh 😂🙊. Telur punya banyak nutrisi dan gizi yang diperlukan tubuh, tapi ada juga asup