Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober 28, 2018

A Cup of Betrayal

Secangkir teh hangat kuletakkan di meja di sampingnya. Kepulan asap membumbung ke udara. Hening. Suara rintik hujan terdengar merdu di telinga. "Laper?" tanyaku. Dia, lelaki bermata coklat itu, mengeleng. Tak bersuara, hanya senyum manis terlukis di wajahnya. "Sini," panggilnya lirih. "Sudah duduk aja di sini. Kita nikmati malam dan hujan." Dia duduk dengan kaki ditekuk dan tangan melingkari lututnya. Aku duduk di depannya. Kudorong tubuhku ke belakang mendekatinya. Kutelusupkan kepalaku ke dalam pelukannya. Hangat. Kupalingkan wajah kearahnya. "Dulu kamu paling sebel sama hujan. Selalu menggerutu tiap kali hujan turun." Aku tersenyum mengenang masa lalu kami. "He em. Hujan memang bikin banyak rencana berantakan." Bibirnya mengerucut membuat wajahnya terlihat lucu. "Jadi inget pas kita dinner anniversary, kamu bahkan hampir banting meja. Tapi malah kita having so much fun that night." Aku terkenang kejadian

Letting You Go

Aku berdiri, kulongok lampu indikator di atas pintu. Hanya warna merah yang terlihat. Lorong sepanjang hampir lima puluh meter di depanku terasa lorong neraka. Walau sudah kubaca berulang kali, tetap saja mataku reflek menangkap tulisan ber- font besar berwarna merah. RUANG OPERASI. Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku. Sudah tiga jam lebih aku berdiri, duduk, mondar mandir, berdiri lagi, duduk lagi, mondar mandir lagi. Laki-laki yang telah menjadi imamku lebih dari sepuluh tahun sedang bertarung dengan pisau bedah dan dokter di dalam sana. Telah banyak doa dan permohonan kupanjatkan. Sebuah tepukan menyadarkanku dari lamunan. "Keluarga Bapak Wirawan?" suara suster lembut. "Iya, Sus," jawabku. "Ibu ditunggu di ruang dokter Adi. Ada hal yang akan disampaikan. Pasien masih dalam persiapan untuk dipindahkan ke ruang rawat inap. Jadi belum bisa dijenguk ya, Bu." Suster tersenyum. "Iya, Terima kasih." Aku balas tersenyum. Sust

Burung Kusayang, Uangku Terbang

Pak Wiro menghela napas panjang. Tangannya menengadah ke atas. Bibirnya komat kamit merapal doa. Sesaat kemudian dia menyapukan kedua tangan ke wajahnya. Pak Wiro berjalan ke ruang tengah. Ke tempat istrinya sedang duduk menyelesaikan rajutan. "Bu, capek ya. Aku pijitin, ya," suara Pak Wiro terdengar syahdu. "Hm." Bu Wiro hanya berdehem tanpa menoleh ke arah Pak Wiro, masih asyik dengan rajutannya. Dia membetulkan kacamata yang mlorot. Pak Wiro meletakkan kursi di samping kursi goyang istrinya. Dia memijit lembut tungkai istrinya. "Mau apa lagi? Nggak usah sok baik-baik begitu!" Bu Wiro berkata dengan ketus. "Pokoknya nggak ada beli burung-burung lagi. Sudah tua malah aneh-aneh!" Mata Bu Wiro hampir meloncat keluar. "Ish, suami baik gini, mau nyayang-nyayang, kok malah dicurigai macem-macem to Bu." suara Pak Wiro memelas. "Aku kemarin lewat toko baru deket pasar burung, toko i..." "Nah kan, ketahuan m