Rahma membuka mata. Temaram lampu dari ventilasi menerangi kamar. Dia menghela napas panjang. Sudah hampir sebulan, dia tidur di kamar Bagas. Anak manis inilah, satu-satunya penghibur hati.
Belum sirna kesedihannya, kehilangan Bapak. Rahma sudah harus menahan perih karena hatinya patah. Air matanya kembali mengalir. Tangisan tanpa suara.
*
"Mama Rahma, maemnya udah ya, Bagas takut telat." Mulut mungil itu bersuara.
"Maemnya dihabiskan dulu. Nanti berangkat bareng mama, nggak akan telat." Senyum menghiasi wajah manis Rahma.
"Hm, bilang aja Bagas nggak mau berangkat sama Ayah." Sigit menyahut. Mulutnya mengerucut, membentuk piramida kecil.
"Sejak ada Mama Rahma, Bagas nggak sayang Ayah lagi." Bibir Sigit melengkung ke bawah.
Lucu. Bagas terkekeh. Sayangnya, ekspresi itu tak membuat luka hati Rahma terobati.
"Biar Bagas berangkat bareng saya, Mas," ucap Rahma.
"Kalau naik motor, kan, bisa cepet. Kasihan kalau sampai terlambat," lanjutnya.
"Dik Rahma nggak keberatan?" Suara Sigit terdengar khawatir.
Rahma menggeleng, tanpa memandang laki-laki yang telah sah menikahinya satu jam sebelum kepergian Bapak.
"Bagas pakai helmnya, pegangan Mama Rahma kenceng ya." Pesan Rahma sebelum motornya melaju.
Sigit tersenyum melepas keberangkatan mereka. Dia bersyukur Bagas mendapatkan sosok ibu pengganti yang tepat. Walaupun, dia merasa, Rahma belum bisa menerima pernikahan mereka.
*
Sigit berlari. Dia menuju meja informasi.
"Sus, pasien korban tabrak lari, yang baru saja masuk, diruang apa, bagaimana keadaannya?" Sigit memberondong suster jaga dengan pertanyaan.
"Maaf Pak, pasien atas nama siapa?" jawab Suster.
"Rahma Hadijaya," sahut Sigit
Suster memeriksa di komputer. Sigit menunggu. Berkali-kali dia mengusapkan kedua tangan menyapu wajahnya.
"Diruang Anggrek 2, Pak," jawab suster.
"Maaf, Pak, polisi menunggu konfirmasi dari pihak keluarga. Nanti setelah sele..." Kalimat suster jaga menggantung.
"Iya, nanti saya akan urus semua setelah ketemu istri saya, Sus." Sigit buru-buru memotong.
Sigit menuju ruangan tempat Rahma di rawat. Setelah bertanya pada petugas keamanan, Sigit berhasil menjumpai ruang Anggrek 2.
Pelan, dibukanya pintu. Terlihat Rahma tergolek di tempat tidur. Rambut panjangnya terbuka. Ini kali pertama Sigit melihat istrinya tanpa hijab.
Ditatapnya wajah putih bersih di depannya. Perban di tangan dan kakinya, serta selang infus menempel di tubuh Rahma.
"Cepat pulih dan lekas pulang, Sayang," lirih ucap Sigit. Tangannya terjulur ingin menyentuh kening Rahma. Namun diurungkannya.
Rahma belum mengijikanku menyentuhnya.
Setelah menelpon dan menitipkan Bagas pada Ibu, malam itu Sigit bermalam di rumah sakit.
Sigit tidur di sofa. Dia terbangun dan melihat jam menunjuk angka sebelas.
Dilihatnya Rahma masih tertidur. Sigit menuju kamar mandi. Dibasuhnya wajah dan diambilnya air wudhu.
Sigit bersujud memohon kesembuhan Rahma. Terlintas kata-kata terakhir Bapak. Sigit diminta berjanji menjaga, melindungi, dan memberikan hati sepenuhnya untuk Rahma.
Sigit bertemu Bapak tujuh tahun silam. Saat itu Sigit menemani istrinya kemoterapi. Bapak adalah dokter yang merawat Suci, istrinya. Empat tahun berselang. Suci harus menyerah pada ganasnya kanker yang menggerogotinya.
Sigit tetap menjalin silaturahmi dengan Bapak. Hingga suatu hari Bapak menelpon.
"Nak Sigit, sudah sekitar dua tahun kamu hidup sendiri. Adakah keinginan berkeluarga lagi?" ucapan Bapak membuka percakapan.
"Kasihan Bagas, dia masih butuh seorang Ibu." Bapak melanjutkan.
"Bapak ingin memintamu menikahi anak Bapak." Suara Sigit tercekat di tenggorokan.
Dia belum siap menerima pengganti Suci. Tapi, dia juga tidak boleh egois. Bagas butuh ibu.
"Saya belum berpikiran ke arah sana, Pak," jawab Sigit berhati-hati.
"Bapak tahu, kamu sangat mencintai mendiang istrimu. Tapi hidup harus terus maju nak Sigit," pesan Bapak kala itu.
Bapak bukan hanya seorang dokter bagi Sigit. Beliau sudah seperti sosok Ayah buatnya. Dan tepat satu jam sebelum Bapak menghembuskan napas terakhir, Sigit resmi menjadi menantunya.
Sigit memegang tangan Rahma. Tangan itu balik menggenggamnya. Sigit tersentak. Dilihatnya Rahma belum sadarkan diri. Dia menghela napas.
Sigit menunggu. Tangan Rahma tetap menggenggamnya. Hampir dua jam, tangan mereka berpegangan. Rasa kantuk mulai menyapa. Sigit terlelap. Kepalanya terkulai di kasur samping tubuh Rahma.
*
Rahma mendengar suara Bapak. Suara yang berwibawa namun hangat.
"Rahma, pulanglah. Bapak kangen." Itu selalu ucapan Bapak ketika menelponnya. Rahma sudah dua tahun tinggal di kota yang beda dengan Bapak. Alasan pekerjaan membuatnya harua jauh dari Bapak.
"Anak gadis Bapak, sudah siap menikah?" tanya Bapak suatu sore, saat dia pulang.
Rahma menjalin kasih dengan seorang teman kantornya. Hanya saja, laki-laki itu belum bisa memberinya kepastian. Rahma tak berani bercerita kepada Bapak.
"Bapak punya calon yang tepat buatmu. Gimana, kalau kalian berkenalan dulu?" Kata-kata Bapak bagai sengatan listrik di kulitnya.
Rahma tergagap. Tak berani menjawab. Dilema antara rasa kepatuhan dan keakuannya. Namun sudah menjadi sifat Bapak selalu bisa membuat siapapun mengiyakan permintaannya.
Selang tiga bulan, menikahlah dia dengan laki-laki pilihan Bapak. Seorang laki-laki beserta anak kecilnya yang menggemaskan. Rahma langsung jatuh cinta pada Bagas, anak Sigit. Namun sebaliknya terhadap Sigit.
Rahma terbangun. Kepalanya terasa berat, tangan dan kakinya terasa sakit. Namun ada rasa nyaman mengalir lembut dari genggaman di tangan kanannya.
Dilihatnya Sigit tertidur sambil menggenggam tangannya. Tangan itu terasa hangat namun kokoh. Rahma serasa memegang tangan Bapak.
Rasa kangen menjalari hatinya. Sekilas, wajah Sigit memancarkan kearifan yang tak asing baginya. Sejak kapan laki-laki ini mempunyai wajah yang memancarkan kewibawaan seperti Bapak? Atau selama ini dia tak pernah benar-benar memerhatikannya?
Rahma memandangi Sigit dalam-dalam. Ada rasa aman dan nyaman menyusup ke dalam hatinya. Bapak memilihkan orang yang tepat untuknya. Seketika rasa marah dan benci sirna dari hatinya.
"Kamu sudah sadar, Dik?" Sigit terbangun.
"Aku panggil dokter ya, kamu tung..." Sigit tak melanjutkan kalimatnya.
"Mas, maaf ya, sudah buat kamu cemas." Rahma berkata lirih.
"Bagas sama siapa?" lanjutnya.
Sigit merasakan tangan Rahma semakin erat menggenggamnya.
Sigit tersenyum. Ada rasa lega dan bahagia menyeruak.
"Bagas sama Ibu. Kamu nggak usah khawatir." Senyum tersungging di bibirnya.
"Kamu cepet sembuh ya, nanti Bagas kangen nggak ada yang nemani bobok." Sigit mengerlingkan matanya. Rahma tersenyum.
"Mas, aku minta maaf ya," ucap Rahma sungguh-sungguh.
"Aku juga minta maaf, kita mulai semua dari awal ya." Sigit membelai pipi istrinya.
Rahma tersenyum. Dia memejamkan mata. Rasa sakit di sekujur tubuhnya perlahan menghilang. Berganti rasa nyaman dan aman.
Tulisan ini diikut sertakan dalam challenge One Day One Post di Estrilook Community.
Komentar
Posting Komentar