Memesona itu kaya hati dan dewasa dalam berfikir.
Memesona versi saya itu adalah kekayaan hati, kedewasaan dan kematangan emosional yang dibalut dengan kesederhanaan dan kesahajaan.
Dan saya terpesona dengan kepribadian laki-laki yang sekarang menjadi ayah dari anak-anak saya. Dia bukan tipe laki-laki yang romantis, berpenampilan keren dan suka jaim. Hanya laki-laki biasa yang sederhana dan apa adanya.
Kesan pertama, sangat-sangat tidak mengena dihati. Fitrah manusia melihat hanya dari tampilan luarnya saja. Tapi dia keukeuh mendekati saya. Akhirnya senjata andalan saya keluarkan, saya tantang menemui orang tua saya untuk menyampaikan maksud dan tujuannya meminang saya. Tanpa saya sangka dia langsung menyanggupi. Dan ketika kedua orang tua saya melihat dia, entah kenapa dan bagaimana, mereka mengatakan bahwa dialah laki-laki yang tepat untuk menjadi imam saya. Dueng,,, bagai petir di siang bolong, senjata makan tuan, niat hati agar dia kabur, malah approvement yang dia terima.
Mau tidak mau, saya harus menepati janji saya, kalau bapak ibu setuju, saya siap menerima. Berawal dari sejak saat itu, saya berusaha membuka hati. Saya berusaha mengenal dia lebih dalam lagi. Ternyata penilaian kedua orang tua saya tidak salah. Sedikit demi sedikit dia mulai memesona saya. Bukan karena tampilan fisik dan sikap yang dibuat-buat. Tapi dia memesona saya dengan kesederhanaan dan kedewasaannya. Dia tidak sungkan menjadi dirinya sendiri tanpa takut saya illfeel.
Ternyata dia orang yang sangat sabar, ketika saya mengatakan bahwa saya belum bisa mencintai dia, jawabnya dia akan menunggu dan membuat saya mencintainya. Dan itu dibuktikannya. Kesabarannya menghadapi saya yang sering cuek padanya, memesona saya. Saat saya lelah menghadapi permasalahan yang kompleks di sekolah tempat saya mengajar, dia dengan sabar mendengar uring-uringan saya, bahkan sering memberi masukan dan solusi yang tidak pernah terfikirkan oleh saya. Ketika saya PMS, dia pun dengan dewasa menghadapi saya yang ngambek dan marah-marah tidak jelas. Dia berjanji akan selalu bisa diandalkan dan ada disisi saya bagaimanapun beratnya persoalan yang dihadapi.
Delapan bulan sejak perkenalan, kami menikah. Setelah menikah, dia benar-benar semakin memesona. Dia adalah sosok suami siaga dan tidak sungkan membantu istri melakukan pekerjaan rumah. Ketika hamil anak pertama, kami yang kala itu masih tinggal berjauhan, tidak menghalangi dia menjadi suami siaga. Tidak pernah lupa menelpon hanya untuk mengingatkan minum susu dan vitamin. Ketika anak pertama kami lahir, saya yang pada waktu itu kesulitan ngAsi tetap kuat karena dia selalu support dan menggenggam tangan saya. Pun sekarang setelah anak kedua kami lahir. Dia tetap menjadi seorang suami dan ayah yang sangat memesona. Ketika si bungsu harus dirawat di ruang intensif karena tingginya kadar bilirubin di darahnya, dia tetap bisa menguatkan saya. Walaupun pasti dia juga terpukul. Hingga sekarang dia tidak enggan menggantikan saya membersihkan kotoran pup anak-anak kami yang masih batita. Selalu siap menina bobokan si kakak ketika malam hari saat saya sudah kelelahan. Setiap hari saat jam istirahat kantor selalu menyempatkan menelpon anak-anak.
Dia benar-benar melaksanakan kewajibannya sebagai ayah. Tidak hanya memberikan nafkah lahir kepada anak-anak tapi juga memenuhi kebutuhan batin mereka. Tidak pernah merasa gengsi saat di kritik bagaimana bersikap yang tepat menghadapi anak-anak. Selalu ikut belajar dan mencari solusi yang tepat ketika anak-anak sedang GTM, sakit atau sedang sulit di handle. Dia membuktikan perkataannya untuk selalu men-support apapun permasalahan yang dihadapi.
Manusia tidak ada yang sempurna. Pun dia, suami saya. Kekurangannya memang sebanyak bintang di langit. Hanya satu-dua kelebihannya, bagaikan matahari. Tapi ketika matahari bersinar, tak satupun bintang terlihat. Saat kita hanya fokus pada kelebihan orang lain maka kekurangannya akan tertutupi dengan sendirinya. Dan suami saya memesona saya dengan cara dia.
Komentar
Posting Komentar